Kolom
Ledakan Hoaks
Kemajuan ini, rupanya tidak sebatas membantu dan mempercepat gerak langkah umat manusia.
Jawaban terbanyak kedua adalah 26,3 persen yakin.
Jawaban ketiga terbanyak atau 19 persen, yakni tidak yakin, selanjutnya 5,3 persen sangat yakin, dan 3,5 persen sangat tidak yakin.
Alhasil, hampir separuh responden mengaku ragu dalam mengidentifikasi hoaks.
Bahkan informasi yang dianggap hoaks justru seringkali dibantah dengan hoaks pula.
Lebih ajaib, sering dijumpai komunitas bincang santai hingga serius, yang saling ‘menikmati’ hoaks antara satu dengan lainnya.
Satu orang membeberkan informasi hoaks. Lalu ditimpali dengan berita hoaks pula.
Pada satu waktu mereka saling menuduh dan menyalahkan atas nama hoks. Pada kesempatan yang lain, mereka tertawa riang gembira, juga ‘berkat’ kehadiran hoaks.
Di kalangan para pemikir, fenomena ini dipandang sebagai bukti betapa rendahnya ketahanan literasi di tengah masyarakat.
Kekuatan menganalisa terhadap setiap persoalan terasa kian mengalami turbulensi yang luar biasa.
Kehebatan membangun narasi dan perdebatan di berbagai ruang publik, tidak disertai dengan kecermatan nalar membaca setiap hasil produksi informasi dari balik dapur algoritma.
Benar kata para pakar, defisit wawasan pada sebuah masyarakat, berakibat pada surplus berita palsu yang menghiasi kehidupan bahkan keyakinan mereka.
Ini membutuhkan sikap yang cermat dalam merespon kondisi tersebut.
Sebagaimana pentingnya menahan diri untuk tidak mudah termakan berita palsu, juga tak kalah urgennya untuk tidak melawan dengan sanggahan yang berbeda, namun derajat kepalsuannya tetap sama (hoaks vs hoaks).
Dalam terminologi Agama, panduan untuk meredam paparan hoaks terbilang sederhana; Diam atau berkata baik. Kalimat singkat ini memiliki filosofi yang dalam.
Bahwa keselamatan seorang manusia adalah ketika ia mampu menahan diri, untuk tidak serta merta menyebar informasi yang keabsahannya belum teruji dengan baik dan benar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.