Opini

Depresi Rupiah dan Impossible Trinity

kenaikan FFR harus dilakukan meskipun pengangguran akan naik menjadi sekitar 4,4 persen dari saat ini 3,5 persen.

Tribun Sulbar / Ist
Dosen FEB Unhas/ Komisaris Utama PTPN IX Muhammad Syarkawi Rauf.(Ist) 

Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf

Dosen FEB Unhas/ Komisaris Utama PTPN IX

TRIBUN-SULBAR.COM, - Ekonom senior dari Harvard Kennedy School dan mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS), Larry Summers, mendorong Bank Sentral AS, The Fed untuk secara agresif menaikkan Federal Fund Rate (FFR) dalam rangka menekan laju inflasi. FFR adalah suku bunga pinjaman antar bank AS berjangka pendek (overnight).

Lebih lanjut, Summer, kenaikan FFR harus dilakukan meskipun pengangguran akan naik menjadi sekitar 4,4 persen dari saat ini 3,5 persen. Kenaikan FFR diperlukan karena trend kenaikan inflasi masih terjadi, yaitu CPI inflation sekitar 8,2 persen secara tahunan pada September 2022.

Pengetatan kebijakan moneter AS masih berlanjut dan akan terus berlanjut hingga tahun 2023. Pada 2 November 2022 FFR naik sebesar 0,75 persen dari 3,0 – 3,25 persen menjadi 3,75 – 4,0 persen. Targetnya, CPI inflation kembali turun sesuai target sebesar 2,0 persen dalam dua sampai tiga tahun ke depan.

Dampak Kenaikan FFR

Kenaikan Federal Fund Rate adalah berita buruk bagi Emerging Market Economies (EMEs), termasuk Indonesia. Hal ini berdampak pada meningkatnya beban utang, terjadinya capital out flow dimana investor mengalihkan investasinya ke asset keuangan dengan return lebih tinggi, depresiasi nilai tukar, dan yang paling parah, terjadinya pengetatan pasar keuangan hingga krisis keuangan EMEs.

Baca juga: Kolom Economic Perspective Tribun Timur: Mengelola Volatilitas Nilai Tukar

Baca juga: Resesi Global 2023? Syarkawi Rauf: Sulsel Aman-aman Saja


Pengalaman 1980-an yang dikenal dengan Volker disinflation, FFR naik ke level tertinggi hingga 20 persen menyebabkan krisis keuangan EMEs. Kembali terjadi pada pertengahan 2000-an, kenaikan FFR menyebabkan krisis keuangan EMEs.

Ekonom Federal Reserve Board dan American Enterprise Institute, Hoek, Yoldas, dan Kamin (2021) menyebutkan bahwa efek penularan (spillover effect) dari perubahan kebijakan moneter AS ke EMEs sangat tergantung pada kondisi perekonomian AS yang mendasari kenaikan FFR dan perkembangan indikator ekonomi makro EMEs.

Kenaikan FFR karena trend pertumbuhan ekonomi AS memiliki efek sangat kecil ke pasar keuangan EMEs. Sementara, kenaikan FFR karena inflasi tinggi, berdampak sangat signifikan terhadap pasar keuangan EMEs yang bahkan berpotensi mengarah ke krisis keuangan, dimulai capital out flow, depresiasi nilai tukar dan kenaikan imbal hasil obligasi.

Pasar keuangan EMEs kategori rentan (vulnerable) sangat sensitif terhadap kenaikan FFR. Kerentanan ini tergantung pada beberapa indikator, yaitu perkembangan inflasi, defisit neraca pembayaran, ketersediaan cadangan devisa, utang pemerintah, utang luar negeri, dan pertumbuhan kredit swasta.


Impossible Trinity

Robert Mundell dan Marcus Flemming pada 1960-an memperkenalkan konsep yang menjadi dasar kebijakan moneter internasional di berbagai negara, yaitu “ impossible trinity ” atau “trilemma”. Konsep yang dikenal dengan Mundell-Flemming trilemma menjelaskan hubungan antara tiga variabel, yaitu kestabilan nilai tukar, kebebasan arus modal, dan independensi kebijakan moneter.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

Negeri Festival

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved