Opini
Tantangan Gerakan Kaum Muda: Sikap Apolitis dan Stigma Demonstrasi
Cerita soal pasca kemerdekaan negara-bangsa indonesia tentu juga akan selalu ikut terkenang peristiwa-peristiwa besar.
Inilah yang juga menjadi alasan mengapa sebagian besar kaum muda dimasa kini ketika dalam membangun gerakan merasa sulit ber-konsolidasi (baca: saling mengajak untuk bersatu-berjuang). Bahkan target gerakan yang dibangun kaum muda biasanya berkesan a-politis, seperti misalnya pilihan gerakan adalah ber-demonstrasi (baca: unjuk rasa, berkumpul ramai-ramai lalu menyampaikan aspirasi ke pemerintah) maka juga kadang terjebak dalam konsep gerakan moral yang ukuran dari pergerakannya bertumpu diantara benar dan salah.
Peristiwa ditahun 1966 dan 1998 menjadi bukti bahwa gerakan kaum muda kadang terjebak sebagai gerakan moral karrna waktu itu bagian besar kaum muda sudah cukup merasa menang ketika sukarno dan suharto sebagai pimpinan tertinggi di rezim orde lama dan rezim orde baru berhasil turun dari jabatannya karena dianggap orang yang paling bersalah dan paling harus bertanggung jawab waktu itu. Padahal yang jadi masalah bukan individu dari sukarno dan suhartonya, melainkan sistem yang berjalan dalam rezim itu beserta sebagian orang-orang didalamnya yang ikut menyelenggarakan. Akhirnya para dedengkot orde lama dan orde baru masih juga tetap tersebar di berbagai ruang dalam negara dan mempengaruhi jalannya dari rezim ke rezim sampai saat ini. Terlepas dari itu, jika dianggap sistemnya yang bermasalah maka target gerakan yang dibangun rakyat khususnya kaum muda pun harus mendorong tawaran kebijakan-kebijakan atau lebih ke sistem yang dianggap ideal, artinya gerakan kaum muda yang dibangun harus dengan ber-politik atau lebih jelasnya sebagai gerakan politik bukan lagi hanya terjebak sebagai gerakan moral.
Menolak Stigma terhadap Demonstrasi
Demonstrasi adalah bagian dari demokrasi. Demokrasi (baca: pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, atau kuasa rakyat) sejatinya tak akan pernah terwujud tanpa keseimbangan antara penyelenggaran negara yang bersih dari praktek KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), dan kuat serta aktifnya gerakan rakyat atau civil society dalam mengontrol jalannya negara. Artinya demokrasi yang sejati itu hanya akan terus jadi utopis jika kesadaran politik secara utuh tidak terkonsilidasikan dengan baik di semua rakyat khususnya kaum muda sebagai pelopor gerakan.
Demonstrasi sering kali diambil sebagai langkah alternatif jika dengan menempuh langkah yang lebih persuasif tidak lagi berguna. Namun dalam perjalanannya langkah demonstrasi pun terkadang meninggalkan kesan kurang baik dipublik, misalnya terjadi perusakan fasilitas umum, membuat jalan macet dalam waktu lama, sampai dengan memakan korban jiwa. Parahnya juga sebagian melakukan demonstrasi hanya sebagai jembatan untuk menunggu sogokan uang, atau jadi bumper kelompok penguasa, bahkan ada juga yang hanya sebatas menambah popularitas individu semata di meda sosial. Dampak dari "perilaku-perilaku liar" (diluar dari tujuan demonstrasi) dalam kegiatan demonstrasi pun akhirnya ikut menjadikannya "ter-stigma" (baca: kesan buruk) di tengah masyarakat.
Namun diluar dari itu, kita harus sadari bahwa itu hanyalah perlakuan salah satu oknum dari sekian banyaknya peserta saat berdemonstrasi. Tentu tidaklah semua yang melakukan demonstrasi juga melakukan hal yang dianggap meninggalkan kesan kurang baik di publik. Sebagai orang yang menyadari hal ini, janganlah kita terjebak dengan istilah-istilah demonstrasi atau akrabnya demo-demo adalah kegiatan yang merugikan rakyat khususnya kaum muda, karena dengan kegiatan demo-demo ini lah selain sebagai cara untuk mengontrol kebijakan negara, juga menjadi salah satu media pendidikan politik terhadap rakyat secara luas karena yang tadinya tidak mengerti dan memahami situasi dan kondisi terkini negara jadi bisa ikut mendapatkan informasi yang tidak semua orang bisa mendapatkannya dengan mudah tanpa melalui proses kajian dan pembacaan yang mendalam dan cukup memakan waktu lama.
Kekuatan gerakan kaum muda sebagai jalan menempuh kedaulatan rakyat agar terwujudnya tatanan demokrasi yang sejati tentu tergantung pada sejauh mana kesadaran politiknya terbangun "secara utuh" (baca: tidak memaknai politik sebatas memilih saat tiba masa pemilu) dan demonstrasi dijadikan langkah yang sungguh-sungguh dalam mengontrol kebijakan negara agar sesuai dengan kepentingan semua rakyat, serta tetap menjadi media pendidikan politik dikalangan publik.(*)