Burung Maleo Terancam
KENAPA Ridwan dan Yusuf Wahil Mau Dokumentasikan Burung Maleo Terancam Punah?
Adapun, yang unik dari maleo adalah, saat baru menetas anak burung maleo sudah bisa terbang.
Penulis: Habluddin Hambali | Editor: Munawwarah Ahmad
TRIBUN-SULBAR.COM, MAMUJU - Fotografer dokumenter Yusuf Wahil dan pemerhati lingkunagn Ridwan Alimuddin menceritakan awal mulanya bentuk tim jaga burung maleo.
Maleo Senkawor atau Maleo, yang dalam nama ilmiahnya Macrocephalon maleo adalah sejenis burung gosong berukuran sedang, dengan panjang sekitar 55cm, dan merupakan satu-satunya burung di dalam genus tunggal Macrocephalon.
Adapun, yang unik dari maleo adalah, saat baru menetas anak burung maleo sudah bisa terbang.
"Ide ini muncul saat pandemi Covid-19 tahun 2020 lalu. Saat itu baru pulang dari pualu Balabalakang melakukan expedisi," kata Yusuf, saat hadir di podcast Tribun-Sulbar.com di Jl Martadinata, Kecamatan Simboro, Mamuju, Sulbar, Rabu (3/8/2022).
Waktu itu, kata Yusuf selama ini ada terlupakan di Sulbar salah satunya terancam kepunahan burung Maleo.
Sehingga, dirinya mulai beraktivitas memotret burung Maleo di Desa Kambunong, Kecamatan Karossa, Mamuju Tengah.
"Karena waktu itu pandemi Covid-19 aktivitas di luar dibatasi, makanya saya memulai aktivitas memotret Maleo," ungkap Yusuf.
Apalagi, burung Maleo di Sulbar sudah terjadi kelangkaan dan kepunaan.
Sedangkan, burung Maleo ini biasanya didapati di Kabupaten Mamuju, Mamuju Tengah dan Pasangkayu.
"Ini terancam habitatnya, kesadaran priadi dan penting diketahui bersama dan ini mestinya disampaikan juga di sekolah-sekolah hingga ke masyarakat," bebernya.
Sementara, Pemerhati Budaya dan Budayawan Ridwan Alimuddin mengungkapkan gerakan dasarnya adalah literasi
Karena tidak semua literasi itu hanya membawa buku, tetapi ada aktivitas lain dilakukan yang masuk bagian literasi.
"Nah nasib maleo itu tragis, makanya kita mencoba memperdalam riset tentang burung Maleo. Dua tahun terakhir ini kita mulai," ucap Ridwan.
Lewat gerakan jaga burung Maleo akan semakin memberikan kesadaran masyarakat menjaga agar tidak punah.
Paling tidak, lanjut Ridwan paling tidak ada penangkaran maleo dan bisa melestarikan maleo.
"Tahun 2021 kritis ini secara global, makanya kita bergerak dan memulai di Tapandullu. Selama ini telurnya banyak dikonsumsi dibuat kue dan dimakan," ujarnya.
Selain itu, ukuran telurnya besar dan selalu diperjualkan.
Bahkan, telur maleo mudah menetas.
"Ada enam telur burung Maleo kita selamatkan dan buat kolam pasir. Jadi ketika menetas bisa menjadi percontohan," tandasnya.(*)