OPINI

Bully Lagi, Bully Terus, Stop Bully!

Dalam kurun waktu 9 tahun terakhir, sejak 2011 hingga 2019 kasus bullying mencapai 37.381 aduan yang masuk ke (KPAI)

Editor: Hasrul Rusdi
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi Bullying: Bully Lagi, Bully Terus, Stop Bully! 

Oleh: Ulfiah, Pegiat Komunitas Pecinta Hijrah

Baru-baru ini publik kembali digegerkan dengan kasus bullying yang menimpa seorang bocah berusia 13 tahun, diduga tewas setelah dianiaya temannya. Korban tewas pada hari Minggu (12/6/2022).

Informasi diperoleh, korban bernama Bintang T (13). Dia menjadi korban perundungan sembilan teman sekolahnya. Bahkan mereka juga diduga melakukan penganiayaan secara fisik.

Dari keterangan Friska Cristy Mangkat, ibu BT mengatakan, sebelum anaknya meninggal, korban sempat bercerita bahwa dia dipukuli temannya dengan mata ditutup di sekolah.

"Dia bilang banyak (yang memukul) dengan mata ditutup. Kejadian di dalam sekolah, waktu itu dia (BT) habis ulangan," kata Friska dikutip dari Kompas TV.

Sebelumnya dia (BT) tidak pernah mengeluh apa-apa dan tidak cerita apa yang dialaminya, dia baru bilang setelah akan operasi kalau kena pukul," ujarnya lagi.

Dengan kejadian itu, orangtua korban pun berharap polisi dapat melakukan proses hukum seadil adilnya agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di dunia pendidikan.

Kasus bullying seperti ini bukan kali pertama terjadi dinegeri tercinta ini, bahkan mengalami peningkatan setiap tahunnya, disebutkan dalam kurun waktu 9 tahun terakhir, sejak 2011 hingga 2019 kasus bullying mencapai 37.381 aduan yang masuk ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Dari jumlah tersebut kasus bullying atau perundungan didunia pendidikan maupun media sosial mencapai 2.473 laporan.

Kasus bullying atau perundungan memang seolah tak pernah padam di negeri ini. Bahkan jika ditelusuri hampir tiap hari ada di setiap wilayah.

Perilaku bullying dapat menjadi suatu kebiasaan dan melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan sosial atau fisik.

Hal ini dapat mencakup pelecehan secara lisan atau ancaman, kekerasan fisik atau paksaan dan diarahkan berulang kali terhadap korban tertentu, mungkin atas dasar ras, agama, gender, seksualitas, atau kemampuan.

Tindakan penindasan itu sendiri terdiri atas empat jenis, yang pertama secara emosional, yaitu bullying yang tujuannya untuk menolak dan memutuskan hubungan korban dengan orang lain, meliputi pelemahan harga diri korban.

Misalnya, menyebarkan rumor, mempermalukan seseorang di depan umum, menghancurkan reputasinya dll. Kedua, secara fisik, yaitu jenis bullying yang melibatkan kontak fisik antara pelaku dan korban.

Seperti memukul, menendang, meludahi, mendorong, mencekik, dll. Kasus inilah menyebakan korban sakit atau bahkan menyebabkan melayangnya nyawa seseorang.

Ketiga, secara verbal, yaitu bully yang menggunakan bahasa verbal yang tujuanya yaitu menyakiti hati seseorang.

Seperti mengejek, memberi nama julukan yang jelek, memfitnah dll. Bully semacam ini bisa menyebabkan korban trauma dan psikisnya terganggu.

Keempat, cyber. bullying cyber merupakan bentuk perilaku bullying yang dilakukan melalui media
elektronik atau online seperti handphone, komputer, internet, website, e-mail, SMS dll.

Budaya penindasan dapat berkembang di mana saja selagi terjadi interaksi antar manusia. Baik di
sekolah, tempat kerja, rumah tangga, dan lingkungan.

Jadi jelas, setiap perilaku yang didalamnya terdapat konteks penganiayaan baik secara fisik maupun psikis bisa dikategorikan ke dalam istilah bullying.

Sehingga, apa yang terjadi dengan generasi muda saat ini tak lepas dari kegagalan negara melakukan penjagaan serta pembinaan terhadap mereka. Mengapa demikian? Tidak lain karena negara membiarkan pemikiran dan gaya hidup liberal sekuler mengepung generasi melalui berbagai sarana.

Juga membiarkan para orang tua berjibaku sendiri mendekap anak-anak mereka dari serangan kaum
kapitalis sekuler.

Di bidang pendidikan, negara minim menanamkan nilai-nilai takwa bahkan melalui pendidikan agama sekalipun.

Dari sisi media, negara pun juga gagal menghilangkan konten-konten kekerasan, porno dan nilai-nilai merusak lainnya.

Pun tak sanggup membendung sebaran budaya kufur yang rusak dan merusak generasi. Sehingga remaja pun mengambil mentah-mentah apa saja yang dijajakan kaum kapitalis, serta menjadikan gaya hidup sekuler liberal sebagai identitasnya.

Padahal, Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur persoalan ini. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW.

“Abu Musa radhiyallahu’anhuma berkata, “Mereka (para sahabat) bertanya, Wahai Rasulullah, Islam
manakah yang lebih utama?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya. “ (HR. Bukhari)

Dari hadits tersebut jelas, bahwa tak layak disebut muslim sejati jika masih sering menjadikan saudara muslim yang lain celaka akibat keburukan lisan dan tangan kita.

Dan bukan pula muslim yang baik jika ia tidak mau menyelamatkan muslim yang lain dengan kebaikan lisan dan tangannya yang menimpa mereka.

Sebagaimana firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada
Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (TQS. Al-Ahzab 70-71)

Islam sebagai agama dan ideologi yang memiliki aturan yang lengkap dan paripurna, sudah pasti memiliki cara sahih dalam menjaga generasi dari berbagai faktor, yang memicu baik fisik, mental, serta pemikirannya. Yakni, menanamkan akidah secara kokoh di usia dini.

Disinilah orang tua memaksimalkan perannya mendidik anak sesuai syariah, agar anak siap menjalani kehidupan dan memahami tujuan hidupnya.

Yaitu hanya beribadah kepada Allah SWT, dengan menjadikan segala aktivitasnya terikat dengan aturan dan larangan-Nya.

Negara juga punya peran dalam berupaya memberantas segala bentuk yang menjadi penyebab kerusakan generasi.

Seperti, tontonan negatif atau tontonan yang jauh dari mendidik anak, bully, memblokir tayangan yang berbau kekerasan, dll. Juga memberikan sanksi tegas atas segala pelanggaran hukum syara yang terjadi.

Dengan demikian, generasi terhindar dari segala perilaku negatif seperti bully membully dan perilaku negatif lainnya, sehingga generasi akan hidup dengan baik, dan terjaga baik fisik, mental ataupun pemikirannya.

Selain itu, juga harus dipahami bahwa kita semua (manusia) itu memiliki derajat yang sama di mata Allah SWT. Ukuran tinggi derajat seseorang dalam pandangan Islam bukan ditentukan oleh nenek moyangnya, kebangsaannya, warna kulit, bahasa, dan jenis kelaminnya. Melainkan ditentukan oleh ketakwaannya kepada Allah SWT.

Oleh karenanya, menghentikan kasus bullying ini tidak cukup dengan kecaman semata, tetapi dibutuhkan peran negara dalam segala aspek untuk menjaga dan melindungi remaja dari berbagai pengaruh negatif.(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved