Kementerian Haji dan Umrah

BP Haji Resmi Jadi Kementerian Haji dan Umrah, Cucun Serahkan Penunjukan Menteri ke Presiden

Editor: Nurhadi Hasbi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI PELAKSANAAN IBADAH HAJI DAN UMROH DI MAKKAH

TRIBUN-SULBAR.COM – Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) resmi naik status menjadi Kementerian Haji dan Umrah setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI, Selasa (26/8/2025).

Pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI dipimpin Wakil Ketua DPR, Cucun Ahmad Syamsurijal, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Perubahan ini bertujuan memperkuat kelembagaan dan meningkatkan kualitas pelayanan ibadah haji dan umrah bagi jemaah Indonesia.

Baca juga: KPK Telusuri isi Obrolan Gus Yaqut dari Hp Disita saat Penggeledahan Terkait Korupsi Kuota Haji

"Pembentukan kementerian ini penting agar penanganan urusan haji dan umrah lebih fokus," kata Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, di ruang rapat Komisi VIII DPR, Senin (25/8/2025).

Cucun mengatakan, penunjukan menteri hak prerogatif presiden.

Oleh karena itu, terkait siapa Menteri Haji dan Umrah pertama, DPR menegaskan hak prerogatif Presiden Prabowo Subianto.

"Kami hanya menyusun dan mengesahkan undang-undangnya. Soal penunjukan menteri, itu ranah eksekutif," ujar Cucun.

Saat ini, BP Haji dipimpin oleh Mochammad Irfan Yusuf, dengan Dahnil Anzar Simanjuntak sebagai wakil.

Tiga Poin Penting dalam Revisi UU Haji dan Umrah

Berikut beberapa poin penting yang disepakati dalam revisi UU Haji dan Umrah:

1. Transformasi BP Haji Menjadi Kementerian

BP Haji secara resmi bertransformasi menjadi Kementerian Haji dan Umrah agar pengelolaan ibadah haji dan umrah berada di bawah kementerian tersendiri.

2. Pengurangan Kuota Petugas Haji Daerah

DPR dan pemerintah menyepakati tidak menghapus petugas haji daerah, namun hanya menguranginya. Hal ini dilakukan agar kuota jemaah tidak terlalu banyak terserap oleh petugas non-pusat.

"Kuota petugas haji daerah terlalu besar selama ini. Jadi hanya dibatasi, bukan dihapus," kata Marwan.

3. Distribusi Kuota Haji: Reguler 92 Persen, Khusus 8 Persen

Kuota haji reguler ditetapkan sebesar 92 persen.

Sementara kuota haji khusus dibatasi maksimal 8 persen.

Hal ini bertujuan menjamin pemerataan dan pemerintahan yang berkeadilan.

Marwan juga menyinggung perlunya pengaturan skema anggaran apabila pemerintah memperoleh tambahan kuota haji dari pemerintah Arab Saudi.

"Jika kita dapat kuota besar, kemampuan keuangan negara harus disesuaikan. Mekanisme penggunaannya akan diatur lebih lanjut," jelasnya.(*)