TRIBUN-SULBAR.COM - Rokok elektrik atau vape resmi dilarang di Singapura.
Pemerintah Singapura mengkategorikan rokok elektrik sebagai zat terlarang.
Bukan tanpa alasan, pemerintah Singapura resmi larang rokok elektrik untuk melindungi kesehatan masyarakatnya, khusus generasi muda.
Rokok elekktrik dianggap sangat berbahaya.
Zat adiksi nikotin pada rokok elektrik lebih berbahaya dari rokok biasa.
Baca juga: Terjabak FOMO pada Rokok Elektrik: Tren Gaya Hidup atau Bahaya Tersembunyi?
Selain nikotin tinggi pada cairan rokok elektrik, juga mengandung bahan kimia beracun, dan berpotensi memicu gangguan serius pada jantung, paru-paru, hingga perkembangan otak remaja.
Epidemiolog sekaligus pakar kesehatan masyarakat, Dr. Dicky Budiman, menilai langkah Singapura itu mencerminkan keseriusan memastikan kesehatan masyarakatnya.
Dicky Budiman adalah seorang dokter yang dikenal luas karena analisis dan komentarnya selama pandemi COVID-19.
Ia sering tampil di media sebagai narasumber utama dalam isu kesehatan masyarakat, pandemi, dan kebijakan vaksin.
“Kebijakan Singapura dalam memperketat aturan rokok elektronik atau VEF ini sebetulnya bukan sesuatu yang tiba-tiba karena ini adalah bagian dari statik kesehatan masyarakat Singapura yang memang sudah ketat sejak lama berkaitan dengan rokok elektronik ini,” jelas Dicky pada keterangannya, Kamis (21/8/2025).
Produk cairan rokok elektrik ini sering dipasarkan dengan kemasan menarik dan varian rasa buah, sehingga semakin mudah menjerat anak muda untuk mencoba.
Selain aspek medis, kebijakan Singapura memperlihatkan konsistensi dalam penegakan hukum.
Negara itu dikenal tegas, bukan hanya membuat aturan di atas kertas, tetapi juga benar-benar menindak penjualan, iklan, dan kepemilikan rokok elektronik.
“Negara maju seperti Singapura ini sangat protektif terhadap generasi mudanya. Dan tentu Singapura ini kan terkenal dengan aturan hukum yang tegas dan konsisten,” ungkap Dicky.
Langkah Indonesia soal Vape
Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Marthinus Hukom dilansir Tribunnews.com menegaskan bahwa Indonesia tidak berencana melarang vape secara menyeluruh, melainkan fokus pada pengawasan dan pemisahan antara penggunaan yang sah dan penyalahgunaan.
“Yang ingin saya tekankan, bukan soal melarang. Tapi kita harus bisa membedakan mana vape yang memang digunakan untuk merokok dan mana yang dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk kejahatan,” ujar Hukom saat ditemui di Lemhannas RI, Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2025).
Menurutnya, zat seperti ketamin dan etomidate yang kerap disalahgunakan melalui vape dikategorikan sebagai psikotropika di Indonesia, bukan narkotika.
Ia juga menyoroti bahwa vape kini telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat, sebagai alternatif dari rokok konvensional.
Untuk mencegah penyalahgunaan, BNN telah menginstruksikan seluruh Kepala BNN Provinsi agar meningkatkan pengawasan terhadap peredaran vape, khususnya yang mengandung zat adiktif.
Koordinasi juga dilakukan dengan Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memastikan liquid vape yang beredar tidak mengandung zat berbahaya.
“Kami telusuri produksi vape yang murni untuk rokok dan yang telah dimodifikasi dengan zat adiktif,” jelas Hukom.
Ia menambahkan, BNN juga bekerja sama dengan Bea Cukai untuk memperketat jalur masuk produk vape ke Indonesia, guna menutup celah bagi pelaku kejahatan.
Saran Ahli Kesehatan untuk Peredaran Vape di Indonesia
Terkait kebijakan pemerintah ini, menurut Dicky, meniru sepenuhnya kebijakan Singapura tentu tidak mudah.
Industri VEF di Indonesia berkembang pesat, melibatkan banyak pihak, dan bahkan kerap dianggap memberikan dampak ekonomi.
Namun tantangan terbesar justru ada pada lemahnya penegakan hukum dan rendahnya literasi publik.
Banyak masyarakat yang masih percaya bahwa VEF lebih aman dibanding rokok konvensional, padahal bukti ilmiah menunjukkan sebaliknya.
“Alih-alih langsung meniru 100 persen kebijakan Singapura, Indonesia bisa memperkuat regulasi penjualan dan pemasarannya. Terutama pembatasan akses anak dan lain sebagainya,” saran Dicky.
Ia menegaskan, masalah bukan hanya ada pada rokok elektronik, tetapi juga rokok tradisional yang hingga kini pun aturannya belum ditegakkan secara serius.
Untuk itu, Indonesia perlu segera membenahi regulasi, memperketat standar cairan VEF, mengatur kadar nikotin, serta meningkatkan literasi publik agar tidak terjebak pada mispersepsi.
Menurut Dicky, langkah Singapura bisa menjadi peringatan keras bagi Indonesia.
Jika tidak segera berbenah, maka generasi muda berisiko menjadi korban adiksi nikotin, baik dari rokok konvensional maupun elektronik.(*)