TRIBUN-SULBAR.COM – Inmendagri Nomor 53 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3, 2, dan 1 Jawa Bali yang mensyaratkan penumpang wajib tes polymerase chain reaction (PCR) menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Meskipun kini pemerintah telah menurunkan telah menurunkan harga tes PCR menjadi Rp 300 ribu dengan masa berlaku 3x24 jam.
Akan tetapi, hal tersebut masih akan membebani rakyat mengingat harga tiket trasnportasi missal banyak yang lebih murah dari harga tes PCR.
Seperti, harga tiket kereta api yang berkisar Rp 75 ribu satu kali perjalanan. Begitu juga dengan tiket bus AKAP dan kapal laut.
“Saya kira kurang tepat bila kemudian warga masyarakat pengguna transportasi publik harus membayar lebih dari 3 kali lipat harga tiket untuk tes PCR,” ujar Puan Maharani, Ketua DPR RI.
Baca juga: Harga PCR Lebih Mahal dari Tiket, Aktivis Ekonomi Mamuju: Hanya Sultan Bisa ke Makassar
Baca juga: Kembali Difungsikan, Mobil PCR Rp 3.5 M Dinkes Sulbar Hanya Dioperasikan di Labkesda
Kebijakan tes PCR bagi semua pengguna moda transportasu bertujuan untuk mengantisipasi gelombang baru Covid 19 khususnya jelasnya libur Natal dan Tahun Baru (Nataru).
Akan tetapi, harga PCR jangan lebih mahal dari tiket transportasi publik yang mayoritas digunakan masyarakat.
Apabila harga tes PCR lebih mahal dari tiket transportasi missal yang masyoritas digunakan masyarakat, maka akan terjadi diskiriminasi terhadap warga masyarakat.
“Apakah artinya masyarakat yang mampu membayar tiket perjalanan, namum yang tidak mampu membayar tes PCR, lantas tidak berhak melakukan perjalanan?”
“Hak mobilitas tidak boleh dibatasi oleh mampu tidaknya warga membayar tes PCR,” jelasnya.
Fasilitas Kesehatan di Daerah
Menyoal fasilitas kesehatan di daerah, Puan merasa jika semua fasilitas kesehatan di daerah beum mumpuni untuk melakukan tes PCR yang dijadikan syarat waji bagi semua moda transportasi.
Lebih lanjut, ia menyarankan bila tes PCR sebaiknya digunakan sebagai alat diagnosa Covid 19.
Sedangkan untuk proses skrinning bisa dilakuakn dengan tes antigen ditambah dengan optimalisasi aplikasi PeduliLindungi.
“Aplikasi PeduliLindungi ini kan dibuat untuk mengetahui status seseorang. Sehrusnya ini yang dimaksimalkan,” terangnya.
Sementara itu, untuk menghindari gelombang ketiga Covid 19 yang diprediksi akan terjadi imbas libur panjang akhir tahun.
Pemerintah bisa lebih menekankan penegakan protokol kesehatan masyarkat, pengetatan skrinning, memperketat 3T (tracing, testing, treatment), dan vaksinasi harus semakin digencarkan.
Tanggapan Legislator
Kebijakan yang mewajibkan tes PCR 2x24 jam sebelum keberangkatan tersebut merupakan langkah mundur dalam upaya pemulihan ekonomi nasional.
Anggota Komisi V DPR RI, Neng Eem Marhamh Zulfa Hiz menilai syarat wajib tes PCR seharusnya sudah tidak diperlukan lagi.
Lantaran pemerintah sudah menggelar vaksinasi secara massif, dan penggunaan aplikasi PeduliLindungi sebagai syarat layak terbang calon penumpang.
Adanya kebijakan tersebut akan berdampak pada menurunnya minat masyarakat untuk memilih moda transportasi udara.
Momentum landainya kasus Covid 19 di Indonesia seharusnya dijadikan sebagai langkah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
Utamanya pada sektor penerbangan sebagai salah satu sektor yang paling terdampak pandemi Covid 19.
Berdasarkan Aosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA), industri penerbangan global mengalami kerugian Rp 2.867 triliun selama 1,5 tahun terakhir.
“Jadi berat juga apalagi tidak semua orang bisa masuk industri penerbangan, ditambah lagi dengan persyaratan adanya PCR.”
“Padahal sebelumnya antigen, kenapa saat pandemi melandai justru diwajibkan PCR,” kata Eem Marhamh Zulfa Hiz.
(Tribun-Sulbar.com/Al Fandy Kurniawan)