Literasi

Kaidah Humor dalam Dakwah

Jika dahulu penyajian dakwah cenderung berlangsung monoton, tak kenal feed back. Kini, kondisi tersebut kian tak diminati.

Editor: Nurhadi Hasbi
dok Nur Salim Ismail
Nur Salim Ismail 

Penulis: Nur Salim Ismail

Fenomena dakwah di kalangan umat Islam telah menjadi trend sosial tersendiri.

Aktivitas dakwah secara konseptual bertujuan memberikan edukasi terhadap pemahaman nilai-nilai pengamalan ajaran Islam.

Dalam dimensi praksisnya, aktivitas dakwah telah bertransformasi sedemikian rupa.

Terlebih dengan kehadiran sejumlah platform media sosial yang menyajikan beragam kemudahan mengakses layanan dakwah sesuai dengan selera masing-masing netizen.

Jika dahulu penyajian dakwah cenderung berlangsung monoton, tak kenal feed back. Kini, kondisi tersebut kian tak diminati.

Minat publik terhadap pola dakwah yang tersaji di ruang media sosial cenderung dialogis serta tidak mesti selalu menarasikan kebenaran satu arah.

Sehingga, formulasi dakwah dituntut untuk semakin tersaji dalam aneka rupa kreativitas serta inovasi yang tak ketinggalan zaman.

Salah satu aspek yang tak luput dari hal tersebut di atas adalah pemenuhan aspek humor dalam sajian dakwah.

Dalam ulasan Listya Istiningtyas, humor berasal dari kata umor yaitu You-moors yang berarti cairan-mengalir, humor merupakan sifat dari sesuatu atau suatu situasi yang kompleks yang menimbulkan keinginan untuk tertawa. 

Seorang peneliti humor, Rod A. Martin (2009), mendefinisikan humor sebagai suatu penjelasan terhadap seperangkat fenomena yang terkait dengan mencipta, mempersepsi, dan menikmati sesuatu yang menggelikan atau lucu, sesuatu yang komikal, atau sesuatu ide, situasi atau kejadian yang inkongruen (tidak sebangun dengan kejadian lazimnya).

Kata humor digunakan untuk menyebut sebuah stimulus yang lucu, proses kognitif yang terlibat dalam menciptakan atau mempersepsi kelucuan, emosi gembira yang terkait dengannya, dan sebuah karakteristik kepribadian yang cenderung lebih menikmati inkongruensi atau kemampuan membuat lucu orang lain dan membuat mereka tertawa. 

Ross (1999) mengemukakan beberapa tipe humor, yaitu:
Pertama, Parodi. Yaitu tiruan-tiruan yang bertujuan hanya sebagai hiburan belaka hingga yang bersifat menyindir.

Parodi terdiri dari dua rentang, yaitu ironi yang bersifat sindiran halus, hingga satire yang bersifat sindiran lebih kasar.

Kedua, Permainan kata atau makna ambigu.

Ketiga, Melanggar hal-hal yang dianggap tabu (taboo breaking). Ini merupakan tipe humor yang terlepas dari hal-hal yang dianggap suci ataupun dilarang.

Hal ini tergantung pada budaya masyarakat. Humor ini meliputi seks, kematian, agama dan lain sebagainya.

Keempat, Hal-hal yang dapat diobservasi (obversational). Tipe humor ini menggunakan hal-hal yang sepele yang mungkin sama sekali tidak menjadi pusat perhatian seseorang dan biasanya dialami oleh semua orang sehingga semua orang tanpa terkecuali menjadi bagian dari humor tersebut.

Humor tidak hanya mencakup kognitif dan apresiasi terhadap stimulus humor tetapi berkaitan juga dengan kemampuan dalam memproduksi stimulus humor. 

Eysenck (Ruch, 2007) menyatakan istilah kepekaan humor digunakan untuk tiga hal. Yaitu: a). The conformist sense, yaitu tingkat kesamaan di antara individu satu dengan yang lain dalam apresiasi terhadap materi-materi humor. b) The quantitative sense, yaitu yang menunjukkan seberapa sering seseorang tertawa dan tersenyum, serta seberapa mudah seseorang merasa gembira. c) The productive sense, yaitu menekankan seberapa banyak seseorang menceritakan cerita-cerita lucu dan membuat orang lain gembira.

Namun dalam konteks dakwah, aspek humor menjadi objek yang cukup hati-hati untuk diimplementasikan secara proporsional.

Tidak sedikit juru dakwah harus berurusan dengan masalah hukum hanya dikarenakan oleh konten dakwah yang disampaikan dengan humor justeru berujung pada respon negatif.

Bahkan dalam era dominasi media sosial, nasib juru dakwah bisa terjun bebas hanya karena kolektivitas ketersinggunan netizen.

Pada poin inilah diperlukan pemetaan serius terkait pemenuhan aspek humor dalam dakwah. Bahwa di satu sisi, pesan dakwah tak boleh hilang subtansi pesan yang hendak disampaikan.

Sementara pada sisi yang lain, selera humor tak boleh diabaikan sebagai fungsi penyederhanaan pesan dakwah agar mudah dipahami oleh publik.

Menurut Mustofa Hilmi (2018: 104), dalam proses berdakwah, penggunaan humor adalah penting. 
Humor menjadi cara terbaik untuk mengambil perhatian publik. Terlebih dengan model komunikasi satu arah yang selama ini masih banyak dilakukan oleh para dai.

Sebab pada dasarnya, waktu efektif yang tersedia bagi seseorang untuk menerima pesan secara monolog dari orang lain adalah 10 menit. 

Lebih dari itu, publik akan bertarung dengan persoalan pribadinya, seperti; ngantuk, melamun, mengingat-ingat pekerjaan, dan sebagainya.

Maka pada kondisi ini dibutuhkan alat penyambung konsentrasi publik, di antaranya adalah humor. 

Kendati demikian, setiap Dai hendaknya benar memperhatikan kadiah dasar dalam menyampaikan humor. Pertama, tidak boleh ada kedustaan dalam canda tersebut. 

Kedua, Tidak menjadikan simbol-simbol Islam sebagai bahan gurauan. Ketiga, Tidak diperkenankan terdapat unsur ghibah dan peremehan terhadap seseorang, suku, atau bangsa tertentu.

Keempat, Tidak boleh mengambil barang orang lain, meskipun bercanda. Kelima, Tidak boleh menakut-nakuti orang lain. 

Keenam, Tidak boleh menghabiskan waktu hanya untuk bercanda. Ketujuh, Tidak bergurau dalam urusan yang serius dan tertawa dalam urusan yang sedih. 

Kedelapan, Hendaknya tidak memperbanyak canda sehingga menjadi tabiat yang berakibat jatuhnya wibawa.

Kesembilan, Tidak diperbolehkan bercanda tentang nikah, talak, dan rujuk. Kesepuluh, Tidak diperkenankan bercanda dengan menyerupai lawan jenis. (*)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

Hijrah Nabi, Hijrah Prestasi

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved