Human Interest Story

KISAH Rikat Penjahit Sepatu di Topoyo, Dipukul Pelanggan Hingga Tak Pulkam Saat Istri Keguguran

Dia memilih merantau karena tempat asalnya di Lamongan kehidupan keras karena lapangan pekerjaan susah.

Penulis: Sandi Anugrah | Editor: Ilham Mulyawan
sandi Anugrah
Rikat (44), penjahit sepatu di jalan masuk kompleks pasar Topoyo, kabupaten Mamuju Tengah Sulawesi Barat, saat ditemui Tribun-Sulbar.com, Minggu (11/8/2024). (Sandi/Tribun-Sulbar) 

TRIBUN-SULBAR.COM, MAMUJU TENGAH - Rikat (44) seorang  penjahit sepatu dan sandal yang mangkal di jalan masuk kompleks Pasar Topoyo, Kecamatan Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat menceritakan kisah hidupnya.

Rikat bukan penduduk asli Topoyo, Mamuju Tengah melainkan warga asal Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Keberadaanya di Topoyo, Mamuju Tengah untuk merantau demi merubah nasib.

Dia memilih merantau karena tempat asalnya di Lamongan kehidupan keras karena lapangan pekerjaan susah.

Ditambah tuntutan biaya hidup di kampung membuatnya memilih merantau ke Mateng, singkatan Mamuju Tengah.

"Sejak tahun 2022, Saya tiba di Topoyo Mas," ujarnya kepada Tribun-Sulbar.com saat ditemui di tempat mangkalnya di jalan kompleks pasar Topoyo, Mamuju Tengah, Minggu (11/8/2024).

Sebelum berada di Topoyo, dia sudah merantu ke sejumlah daerah di Indonesia.

Rikat penjahit sepatu di Topoyo Mateng
Rikat penjahit sepatu di Topoyo Mateng

Sebut saja Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Papua bahkan sudah sempat mengadu nasib di Timor Leste yang merupakan bekas wilayah Indonesia yang kini telah menjadi negara.

"Sudah merantau sejak 1997 dan menekuni profesi menjahit sepatu.

Baca juga: Pupuk Kebersamaan, Bebas Manggazali Habiskan Akhir Pekan Bersama Warga Pulau Battoa

Baca juga: Sampah Berserakan di Pantai Batumianak Mamuju Tengah, Pengunjung Juga Keluhkan Fasilitas Tak Lengkap

"Banyak momen sedih yang sudah Saya lalui Mas," ungkapnya.

Salah satu momen tak terlupakan bagi pria kelahiran 1980 itu, ia mengaku pernah dipukul pelanggannya sendiri saat rada di tanah rantauan.

"Karena tak mau bayar saya dipukuli Mas, bukan hanya di satu daerah tetapi ada beberapa daerah yang warganya seperti itu," kenangnya.

Ia hanya bisa bersabar ketika mendapat perlakuan kasar seperti itu.

Bukan hanya itu, momen sedih lain yang pernah dialami yaitu saat dirinya merantau ke Kalimantan ia mendapat kabar bahwa istrinya keguguran.

"Baru satu bulan di rantau, tiba-tiba mendapat kabar bahwa istri saya keguguran namun tidak balik karena belum dapat uang untuk ongkos pulang saat itu," ceritanya.

Dirinya hanya bisa menangis dan pasrah lalu meminta saudaranya di kampung untuk membawa istrinya ke rumah sakit.

Walau tak ada uang, ia meminjam kepada saudaranya untuk biaya pengobatan istrinya.

"Kalau nggak salah, kayaknya habis Rp4 jutaan Mas, saya udah lupa tahunnya," ungkapnya.

Meski sering mendapat momen sedih, dirinya tetap tegar menjalani hidup.

Itu semua dia lakukan untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga dan seorang bapak.

Apalagi ia memiliki anak semata wayang yang masih sekolah berumur 11 tahun.

"Saya tak membawa anak istri merantau, soalnya si Kecil (anaknya -red) tak mau tinggalkan kampung halaman apalagi dunia rantau keras," ujarnya.

Namun, setiap tahunnya bapak anak satu ini pulang kampung menemui keluarga kecilnya.

Sekali balik, ia menghabiskan waktunya satu bulan bahkan lebih.

Untuk mengobati rasa kangennya, dia setiap malam melakukan Video Call kepada anak dan istrinya.

"Meski berat, yah beginilah hidup Mas, harus dijalani dengan ikhlas dan sabar," tutupnya.

Di Topoyo, ia tinggal ngekost tak jauh dari tempatnya mangkal.

Setiap bulannya ia mengeluarkan uang kost dan makan, selebihnya ia kirimkan untuk anak istrinya di kampung.(*)

Laporan Wartawan Tribun-Sulbar, Sandi Anugrah 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved