Selamat Jalan Kak Aswan Acsha
ASWANISME sebagai “Candu”
Ia memang aktifis yang tak berjarak dengan kadernya. Ia dikerumuni ketika ia hadir dihajatan PMII.
Di kampus hijau itulah ia bermula menjadi seorang aktifis.
Realitas Orde baru membuatnya berlawan dengan rezim. Dan ia merasa ber-PMII saja tak cukup untuk menghadapi rezim Orde baru itu.
Dengan pergulatannya bersama anak muda NU di zamannya, ia lantas menemukan ruang baru untuk berlawan dengan Orde baru.
Ruang baru itu tak lain adalah LSM. Di Kota Makassar, ia bergelut di LKPM dan BLPM-Lakpesdam NU Sulsel.
Sementara di level nasional, ia menceburkan diri di Yayasan Bina Desa, sebuah LSM tua yang fokus pada pendampingan masyarakat desa.
Barangkali pergulatan di LSM itulah hingga Kak Aswan kian terang “kacamata realitasnya”.
Kemiskinan baginya tak semata takdir belaka. Ada peran kuat kekuasaan hingga kemiskinan itu kian menyata. Dan ia saksikan itu di tengah masyarakat desa yang didampinginya.
Sama halnnya dengan kecantikan, dengan celoteh riangnya ia kurang lebih menganggap kecantikan bukan sebagai anugerah Tuhan belaka.
Kecantikan kini adalah realitas yang dibentuk kapitalisme mode dan fashion. “kecantikan pabrik”, kata cerdik pandai.
Kepandaian tajam Kak Aswan dengan analisis-analisis kritisnya pada realitas bukan karena buku.
Ia bukan sosok pembaca buku yang ulet. Ia lebih gemar membaca surat kabar dibanding mendawam buku-buku teks.
Namun menariknya, ia gencar menyarankan kadernya membeli atau membaca buku. Dan ketika berdiskusi dengan kader-kadernya yang rutin membaca buku, ia tak termarginalkan dari diskusi itu.
Ide-idenya tetap relevan dengan ide kader-kadernya yang gemar membaca buku.
Buku tak membuatnya kaku. Ia tetaplah cerdas.
Ia cerdas membaca realitas dengan silet analisis kritis komprehensif.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.