Selamat Jalan Kak Aswan Acsha
ASWANISME sebagai “Candu”
Ia memang aktifis yang tak berjarak dengan kadernya. Ia dikerumuni ketika ia hadir dihajatan PMII.
Dari situ kelihatan bila sosok Aswan Achsa tak mengelola kadernya dengan langgam “mengayuni”.
Metode ini, menyerupai pemanjaan kader. Bukan menempah kader dalam proses menjadi insan mandiri.
Kak Aswan menolak gaya kaderisasi begitu. Ia mengutamakan proses bersama dengan potensi diri bersama.
Potensi ini baginya bergerak dari kenyataan diri dan kenyataan sekitar.
Kenyataan baginya adalah modal pokok untuk perubahan nyata. Ia pengusung “realitas”.
Tetapi realitas baginya, harus dibaca atau dimaknai kritis, tak boleh ditelan begitu saja seperti halnya kita menelan segelas es cendol.
Ia tak mudah mengamini realitas. Sebab ia faham, bila realitas itu bukan kiriman dari langit.
Membaca realitas dengan kritis, adalah ciri khasnya ketika berhadapan dengan siapapun.
Tanpa membaca begitu, baginya pembangunan tetaplah memproduksi masyarakat yang “tertindas”.
Akrabnya terminologi “tertindas dan ketertindasan” ditubuh aktivis PMII dijaman itu, boleh dikata berkat gagasan Kak Aswan.
Dialah yang memperkenalkan istilah itu pada kami semua, dan kami menggandrunginya.
Singkatnya, ide-ide Kak Aswan adalah candu yang mengasyikkan bagi aktivis mahasiswa belia di zaman itu.
***
Daya kritis Aswan Achsa juga tumbuh dari “realitas. Ia tumbuh menjadi seorang aktivis di tengah realitas Orde baru yang tengik.
Bermula saat ia hijrah dari kampung halamannya, Bone menempuh pendidikan setingkat SLTA di Kota Makassar, lantas lanjut di Fakuktas Hukum UMI Makassar di erah 1980-an silam.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.