Kolom

Selebrasi Kemiskinan

Pada pemulung sampah, tampak sangat jelas betapa mereka tak punya pilihan alternatif selain menghadapi kerasnya kehidupan.

Editor: Nurhadi Hasbi
dok pribadi
Nur Salim Ismail, Cendikiawan Muda Sulbar dan Ketua LDNU Sulbar 

Oleh: Nur Salim Ismail

Kemiskinan semakin tampak sebagai tontonan sehari-hari. Kemiskinan saat ini tidak lagi sebatas problem personal. Melainkan telah menjalar sebagai fenomena sosial yang berkepanjangan.

Untuk mengurainya secara serius, tentu banyak pihak lebih memiliki otoritas yang lebih dalam.

Potret kemiskinan saat ini telah menjadi pemandangan yang dapat ditemukan sehari-hari. Dari pemulung sampah, pengemis di depan swalayan, donasi di berbagai sudut jalan, hingga permintaan sumbangan atas nama masjid.

Pada pemulung sampah, tampak sangat jelas betapa mereka tak punya pilihan alternatif selain menghadapi kerasnya kehidupan.

Berjibaku dengan sampah, bergelut dengan kotoran dan bau busuk. Persoalan hidup sehat, itu urusan yang dapat dipikirkan kemudian.

Pada pengemis di emperan jalan, ataupun di depan minimarket. Jumlahnya kian banyak. Mereka secara terbuka mengemis karena alasan kebutuhan rumah tangga yang mendesak.

Juga pada praktik open donasi yang makin sering dijumpai. Pada sejumlah warga miskin, alasan biaya pengobatan paling sering menjadi alasan open donasi.

Hal tak kalah memilukan adalah mereka yang berdiri di tengah jalan, di depan masjid. Motivasinya mulia; Lillahi Taala.

Tapi apa yang mereka lakukan sungguh berbahaya. Sebab dapat mengancam jiwa mereka. Dengan kondisi lebar jalan yang tidak luas, ini tidak hanya berpotensi mematikan orang-orang yang berdiri di tengah jalan.

Namun juga berpotensi mencelakakan diri para pengendara.

Apa yang menjadi fenomena di atas, pada dasarnya merupakan bentuk selebrasi kemiskinan. Di dalamnya tersimpan pesan kuat sebagai cara rakyat melakukan protes terhadap kondisi yang dihadapinya.

Mereka hendak mempertontonkan bahwa tidak ada gunanya menaruh harapan besar pada kekuasaan. Sebab toh, dalam selebrasi yang diperagakan itupun, masih terasa dipandang biasa-biasa saja.

Titik paling ekstrim dari semua itu, ketika kemiskinan telah menjelma dalam wujud mentalitas bersama. Semua merasa tak memiliki daya dan kekuatan.

Rakyat merasa tak punya daya untuk bangkit melawan kemiskinan. Sebaliknya, para pemangku kebijakan juga sedang dilanda kemiskinan cara berpikir.

Saat rakyat ditanya dengan cara apa mereka bertahan hidup? Jawabannya sederhana. Mereka memilih jurus bertahan hidup dengan memutus tali harapan pada mereka yang memiliki kuasa.

Sementara, pada mereka yang berkuasa, lebih nyaman memilih diksi sebagai pihak yang juga sedang tak berdaya. Kita tidak tahu, butuh berapa episode selebrasi ini akan terus ditayangkan dalam kehidupan.

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved