Kolom
Ledakan Hoaks
Kemajuan ini, rupanya tidak sebatas membantu dan mempercepat gerak langkah umat manusia.
Oleh: Nur Salim Ismail
Kemajuan teknologi membuat aktivitas umat manusia semakin terasa mudah dan memudahkan.
Lebih dari separuh aktivitas yang selama ini dikerjakan oleh manusia, beralih menjadi aktivitas mesin yang terbilang manual.
Tak lama setelah itu, aktivitas mesin berubah menjadi aktivitas digital.
Kemajuan ini, rupanya tidak sebatas membantu dan mempercepat gerak langkah umat manusia.
Namun yang luar biasa hari ini, eksistensi ruang digital telah menjelma, menjadi kiblat kehidupan yang terhimpun dalam genggaman para pengguna smartphone.
Kehidupan kita seolah terasa salah dalam melangkah, tanpa meninjau realitas virtual sebelumnya.
Nyaris saja, kita menyebutnya sebagai tabiat baru bagi kehidupan manusia.
Laku kehidupan yang serba mudah dikendalikan dalam genggaman, ternyata tak seindah yang dibayangkan.
Sebab di saat yang sama kita pun dihadapkan pada ledakan hoaks yang boleh jadi datang tanpa diduga, hadir secara beruntun.
Dalam istilah Jean P Baudrillard disebut dengan obesitas informasi.
Ibarat sajian makanan, informasi yang hadir saat ini disajikan tanpa mengenal jeda.
Akibatnya, kita tak hanya mengalami mual. Boleh jadi kita sudah merasa muak.
Hasil survei Katadata Insight Center (KIC) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menunjukkan, masih terdapat masyarakat yang menyebarkan informasi bohong atau hoaks.
Sebanyak 11,9 persen responden mengakui telah menyebarkan berita hoaks pada 2021.
Sebanyak 45,5 persen responden menjawab ‘antara yakin dan tidak yakin’ atau ragu, ketika ditanya seberapa yakin mereka dapat mengidentifikasi berita atau informasi yang salah bahkan berita bohong.
Jawaban terbanyak kedua adalah 26,3 persen yakin.
Jawaban ketiga terbanyak atau 19 persen, yakni tidak yakin, selanjutnya 5,3 persen sangat yakin, dan 3,5 persen sangat tidak yakin.
Alhasil, hampir separuh responden mengaku ragu dalam mengidentifikasi hoaks.
Bahkan informasi yang dianggap hoaks justru seringkali dibantah dengan hoaks pula.
Lebih ajaib, sering dijumpai komunitas bincang santai hingga serius, yang saling ‘menikmati’ hoaks antara satu dengan lainnya.
Satu orang membeberkan informasi hoaks. Lalu ditimpali dengan berita hoaks pula.
Pada satu waktu mereka saling menuduh dan menyalahkan atas nama hoks. Pada kesempatan yang lain, mereka tertawa riang gembira, juga ‘berkat’ kehadiran hoaks.
Di kalangan para pemikir, fenomena ini dipandang sebagai bukti betapa rendahnya ketahanan literasi di tengah masyarakat.
Kekuatan menganalisa terhadap setiap persoalan terasa kian mengalami turbulensi yang luar biasa.
Kehebatan membangun narasi dan perdebatan di berbagai ruang publik, tidak disertai dengan kecermatan nalar membaca setiap hasil produksi informasi dari balik dapur algoritma.
Benar kata para pakar, defisit wawasan pada sebuah masyarakat, berakibat pada surplus berita palsu yang menghiasi kehidupan bahkan keyakinan mereka.
Ini membutuhkan sikap yang cermat dalam merespon kondisi tersebut.
Sebagaimana pentingnya menahan diri untuk tidak mudah termakan berita palsu, juga tak kalah urgennya untuk tidak melawan dengan sanggahan yang berbeda, namun derajat kepalsuannya tetap sama (hoaks vs hoaks).
Dalam terminologi Agama, panduan untuk meredam paparan hoaks terbilang sederhana; Diam atau berkata baik. Kalimat singkat ini memiliki filosofi yang dalam.
Bahwa keselamatan seorang manusia adalah ketika ia mampu menahan diri, untuk tidak serta merta menyebar informasi yang keabsahannya belum teruji dengan baik dan benar.
Atau pada pesan yang lain, janganlah mengomentari sesuatu yang anda sendiri tidak memiliki kapasitas di dalamnya.
Tapi ada yang lebih penting, tugas para cerdik cendekia untuk tidak mudah menjadi bagian dari barisan pencaci maki di panggung digital.
Sebab kualitas kecendekiaan seseorang dapat diukur pada sejauh mana ia merespon realitas.
Karena itu, hoaks yang merajalela di masa kini menjadi batu uji terhadap martabat dan kehormatan para kaum intelektual masa kini.
Maka tidak cukup hanya menyebut setiap informasi yang dianggap palsu sebagai hoaks.
Hal terpenting adalah menjaga kewarasan berpikir masyarakat. Di samping jangan mudah menyebar hoaks, juga jangan gampang menuduh hoaks.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.