OPINI
BPJS Kesehatan, Hak atau Kewajiban?
Ketiga, seluruh rakyat bisa mengaksesnya dengan mudah. Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon.
Oleh : drg. Rubiah Lenrang
Siapa saja di antara kalian yang bangun pagi dalam keadaan diri dan keluarganya aman, fisiknya sehat dan ia mempunyai makanan untuk hari itu, maka seolah-olah ia mendapatkan dunia (HR at-Tirmidzi).
Demikian sabda Rasulullah Muhammad SAW yang mengkiaskan bahwa terpenuhinya kebutuhan atas pangan, papan, dan sandang sebagai kebutuhan pokok tiap individu serta tertunaikannya hak dasar seluruh masyarakat yakni keamanan, pendidikan, dan kesehatan–bagaikan memperoleh dunia secara keseluruhan yang menunjukkan betapa pentingnya kebutuhan-kebutuhan tersebut bagi setiap individu.
Sehingga dalam syariat Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan ini, negara diwajibkan menjamin setiap individu-individu rakyat terpenuhi segala kebutuhan pokoknya dan tersedianya pelayanan hak dasar yang memadai bagi seluruh rakyat. Pemimpin harus menunaikan kewajiban ini dengan penuh kesungguhan karena akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah swt.
Namun sungguh disayangkan, sebagaimana yang dilansir dari Tribunnewsbogor.com, 20 Februari 2022, pemerintah menerbitkan aturan baru bagi warga Indonesia. Berlaku mulai Maret 2022 nanti, warga Indonesia wajib memiliki Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan agar bisa mengurus berbagai keperluan.
Seperti mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM), mengurus Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), hendak berangkat ibadah haji, dan jual beli tanah.
Kewajiban itu tercantum dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Peraturan tersebut telah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 6 Januari 2022 lalu.
Sejumlah masyarakat mengatakan kebijakan pemerintah yang menjadikan kartu BPJS Kesehatan sebagai salah satu syarat untuk membuat Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) kurang tepat dan malah bisa menghambat prosesnya itu sendiri.
Selain itu, kebijakan menjadikan kartu BPJS Kesehatan untuk mengurus SIM, STNK, dan SKCK tidak berkorelasi dan kurang tepat, (cnnindonesia.com, 21 Feb 2022).
Banyak yang bingung dengan kebijakan ini, apakah menjadi peserta BPJS adalah hak atau kewajiban?
Karena dengan dikeluarkannya Inpres nomor 1 tahun 2022 tersebut seakan masyarakat dipaksa secara bertahap menjadi peserta BPJS.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma’ruf menjelaskan terkait wajib tidaknya masyarakat Indonesia mempunyai BPJS Kesehatan ada di Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 dan Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018.
Dalam kedua peraturan itu disebutkan bahwa masyarakat Indonesia wajib mempunyai BPJS Kesehatan. Setiap penduduk Indonesia wajib ikut serta dalam program Jaminan Kesehatan.
Bahkan, tidak hanya warga negara Indonesia yang wajib mempunyai BPJS Kesehatan, tetapi wajib juga untuk orang asing yang bekerja di Indonesia dalam jangka waktu tertentu.
Setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial, (Kompas.com, 21 Februari 2022).
Dari penjelasan tersebut, jelas bahwa setiap rakyat di negeri ini wajib mempunyai BPJS Kesehatan. Sehingga pelayanan kesehatan untuk rakyat disandarkan pada premi yang dibayar oleh rakyat.
Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pengalihan tanggung jawab dari pundak negara ke pundak seluruh rakyat.
Dengan pengalihan itu, jaminan kesehatan yang merupakan tanggung jawab dan kewajiban negara justru diubah menjadi kewajiban rakyat. Rakyat diwajibkan untuk saling membiayai pelayanan kesehatan di antara mereka melalui sistem JKN/BPJS dengan prinsip asuransi sosial.
Prinsip JKN/BPJS ini sangat berbeda dengan sistem kesehatan dalam pandangan Islam. Syariat Islam menetapkan kesehatan sebagai salah satu jenis kebutuhan dasar selain pendidikan dan keamanan.
Syara’ pun telah menetapkan bahwa kebutuhan dasar menjadi tanggung jawab negara secara mutlak. Maka dalam pelayanan kesehatan segala kebutuhan dan keperluan rumah sakit, klinik dan fasilitas kesehatan lainnya merupakan fasilitas publik wajib disediakan oleh pemerintah.
Tenaga medis dan petugas kesehatan direkrut, peralatan medis serta hal-hal yang terkait semua ini akan diberikan kepada rakyat secara gratis dan berkualitas.
Sebagaimana yang diamalkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Sebagai kepala negara, Nabi Muhammad saw. menyediakan dokter gratis untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi saw. mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi masyarakat (HR Muslim).
Diceritakan pula dari riwayat lain, bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka
diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh(HR al-Bukhari dan Muslim).
Semua itu dilakukan dalam rangka menerapkan tanggung jawab sebagai pengurus kemashlahatan umat. “Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus,” (HR al-Bukhari).
Dalil-dalil tersebut menyampaikan bahwa pelayanan kesehatan dan pengobatan adalah termasuk kebutuhan dasar yang wajib disediakan oleh negara secara gratis untuk seluruh rakyat tanpa memperhatikan tingkat ekonominya. Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki empat karakter.
Pertama, universal, dalam arti tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. Kedua, bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan.
Ketiga, seluruh rakyat bisa mengaksesnya dengan mudah. Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon.
Tentu saja pemberian jaminan kesehatan seperti itu membutuhkan dana yang tidak kecil, wajib
didukung dengan sistem ekonomi yang mumpuni. Pembiayaannya bisa dipenuhi dari sumber-sumber pendapatan negara yang telah ditetapkan oleh syariah Islam.
Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak, gas, dan sebagainya yang dikelola secara mandiri tanpa intervensi asing.
Demikian syariat Islam mengatur tentang pelayanan kesehatan. Tak ada salahnya jika negeri ini melirik dan menyambut seruan Allah untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah dengan menerapkan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya tanpa pilah-pilih termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan rakyat akan kesehatan.(*)