Berita Pasangkayu

Khawatir Tak Bisa Pulang Kampung, Ini Curahan Hati Yeti Pedagang Bendera Asal Garut

Dari Garut, Yeti bersama suami menggantungkan hidup di Pasangkayu dengan cara berdagang bendera musiman.

Penulis: Taufan | Editor: Munawwarah Ahmad
Tribun Sulbar / Taufan
Yeti, pedagang bendera musiman asal Garut, di Jl. Trans Pasangkayu 

TRIBUN-SULBAR.COM, PASANGKAYU - Hampir semua pedagang bendera musiman di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat (Sulbar), mengeluhkan sepinya pembeli.

Salah satunya adalah seorang ibu bernama Yeti(40).

Baca juga: BREAKING NEWS: Istri Kedua di Desa Kediri Polman Ditikam Istri Pertama Diduga Terbakar Api Cemburu

Baca juga: Jadwal Kapal Feri Mamuju Agustus, Berlabuh Lagi 12 Agustus Simak Secara Lengkap

Yeti merupakan penduduk asal Garut, Jawa Barat.

Sudah kurang lebih 10 hari ia datang ke Pasangkayu bersama suami.

Dari Garut, Yeti bersama suami menggantungkan hidup di Pasangkayu dengan cara berdagang bendera musiman.

Suami Yeti bernama Mulyana(47).

Di Pasangkayu, Suami Yeti menjual bendera dengan cara berkeliling.

Mereka tinggal di sebuah penginapan yang berlokasi di depan jalan trans Pasangkayu.

Lokasi lapak Yeti berada di depan gedung penginapannya.

Selain bendera, di lapaknya ia juga menjual berbagai macam pernak pernik hari kemerdekaan, seperti umbul-umbul, background, ketupat medali dan ceplokan.

Barang-barang itu merupakan milik orang yang ia jual, dan ia mengambil sekitar lima persen keutungan dari hasil penjualannya.

Yeti berkata bahwa sudah empat tahun ia berprofesi sebagai pedagang bendera musiman.

Setiap menjelang 17 Agustus, ia bersama suami berangkat ke Pasangkayu.

Alasan Yeti lebih memilih menjual bendera di Sulawesi yaitu, karena di Jawa pabrik bendera lebih dekat, sehingga orang-orang lebih memilih membeli lansung di pabriknya.

Akhir-akhir ini, Yeti mengeluhkan tentang sepinya pembeli.

Hal ini menurutnya disebabkan oleh maraknya penjualan bendera secara online.

"Orang lebih suka beli online, karena selain lebih mudah, harganya juga lebih murah," terang Yeti.

Ibu dari lima anak itu khawatir jika kondisi ini terus berlanjut, ia dan suami terpaksa tak bisa pulang kampung.

Yeti juga mengeluhkan sedikitnya pendapatan yang ia raup setiap harinya.

"Dalam sehari biasa hanya laku 3 bendera, sedangkan untungnya hanya sekitar Rp 5 ribu dari satu bendera," terangnya.

Hal itu tak bisa menutupi ongkos makannya bersama suami.

Belum lagi anaknya di kampung harus dikirimi uang untuk bekal sekolah.

"Kalau begini, dari mana kami bisa dapat ongkos pulang," keluh Yeti.

Untuk tahun ini, Yeti tak berharap untuk mendapat keuntungan banyak dari hasil jual bendera.

Ia hanya berharap, setidaknya ia dan suami bisa pulang kampung.

"Kalau tak bisa pulang, kami mau kerja apa lagi di sini untuk hidup," ujar Yeti.(*)

Laporan Wartawan Tribun-Sulbar.com Taufan

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved