Berita Sulbar
Demo Hari Ini di Kantor Gubernur, Aliansi Masyarakat Bahari Tolak Perubahan Zonasi Wilayah Pesisir
Aliansi masyarakat bahari menyebut pembahasan revisi zonasi pesisir itu tidak melibatkan masyarakat sipil.
Penulis: Habluddin Hambali | Editor: Munawwarah Ahmad
TRIBUN-SULBAR.COM, MAMUJU - Aliansi Masyarakat untuk Kedaulatan Bahari (Amuk Bahari) Sulbar minta Pemprov membatalkan pembahasan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) di Dinas Kelautan dan Perikanan Sulbar.
Menurutnya, pembahasan revisi zonasi pesisir itu tidak melibatkan masyarakat sipil.
Direncanakan, wilayah tangkap para nelayan yang ada di pesisir Sulbar khususnya di Kecamatan Tapalang Barat dan Kecamatan Simboro, Kabupaten Mamuju sebagaimana diatur dan dijelaskan sebagai Zona perikanan tangkap dalam pasal 15, Perda No. 6 tahun 2017 tentang RZWP3K dalam waktu dekat akan dirubah atas nama kepentingan pembangunan pelabuhan atau terminal khusus (tersus).
Padahal, zona perikanan tangkap adalah wilayah tangkap para nelayan atau tempat para nelayan menggantungkan hidupnya yang juga merupakan bagian dari representasi wilayah kelola rakyat yang harus diakui dan dilindungi oleh negara.
"Upaya perubahan zona perikanan tangkap yang ada dalam RZWP3K adalah suatu bentuk penghianatan Pemerintah Sulbar terhadap rakyatnya," kata Aktivis AMUK Bahari Sulbar Refli Sakti Sanjaya, melalui rilis diterimanya.
Karena secara geografis Provinsi Sulbar sebagian besar wilayahnya berada di pesisir, dari jumlah seluruh 6 kabupaten yang ada di Sulbar 5 kabupatennya berada langsung dipesisir dan 1 lainnya berada di pegunungan.
Itu menandakan bahwa sebagian besar masyarakat Sulbar juga adalah masyarakat pesisir atau masyarakat nelayan.
"Jika ada upaya merubah bahkan mengurangi jumlah zona perikanan tangkap yang sebelumnya sudah ditetapkan dalam RZWP3K itu berarti sama halnya dengan ada upaya merampas sumber-sumber kehidupan rakyat Sulbar khususnya para nelayan," ungkap Sakti.
Dalam perjalannya berbagai upaya yang telah dilakukan oleh AMUK Bahari Sulbar dalam mengawal regulasi tentang RZWP3K ini.
Mulai dari dorongan untuk dimasukkan zona pemukiman dan penjelasan secara detail terkait mitigasi bencana dalam RZWP3K, namun juga tetap tak diindahkan.
"Terakhir unjuk rasa kembali dilakukan di DPRD Sulbar untuk mempertahankan zona perikanan tangkap ini. Salah satu isi hasil berita acaranya bahwa DPRD Provinsi Sulbar mendorong AMUK Bahari Sulbar untuk dilibatkan dalam proses pembahasan revisi RZWP3K," tegasnya.
Namun sampai sekarang AMUK Bahari Sulbar sebagai salah satu representasi masyarakat sipil juga tidak dilibatkan dalam proses pembahasan revisi RZWP3K yang dipimpin langsung oleh kepala DKP Sulbar.
Bahkan ironisnya ternyata proses pembahasan revisi RZWP3K ini sedang dilakukan dengan tergesa-gesa dan sangat tertutup sehingga tidak melibatkan kalangan masyarakat sipil dalam proses pembahasannya.
Atas keputusan yang diambil oleh Pemprov Sulbar khususnya DKP Sulbar di satu sisi tentu dianggap telah secara sembunyi-sembunyi akan merampas hak rakyat pesisir (nelayan) baik dari hak keterlibatan dalam pembahasan aturan terkait nasibnya di masa akan datang.
Termasuk, juga soal haknya mendapat pengakuan dan perlindungan negara terhadap sumber-sumber kehidupannya.
"Begitupun Pemprov dalam pembahasan revisi RZWP3K ini juga melanggar tentang prosedur peraturan pembentukan perundang-undangan yang diatur dalam UU No. 12 tahun 2011 dan juga tidak melaksanakan semua prosedur pembentukan/pembahasan RZWP3K yang telah diatur dalam Pasal 7, UU No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil," bebernya.
Semua proses pembahasan revisinya sangat jelas tidak bersifat partisipasi publik atau tidak melibatkan elemen masyarakat sipil dengan prinsip keterbukaan.
Olehnya itu, Amuk Bahari Sulbar menuntut DKP Sulbar yaitu sebagai berikut :
1. Mendesak DKP Sulbar untuk segera membatalkan pembahasan revisi RZWP3K karena terkesan tertutup, tergesa-gesa, dan tidak melibatkan masyarakat sipil.
2. Mendesak DKP Sulbar untuk tidak merubah atau mengurangi Zona Perikanan Tangkap yang sebelumnya telah diatur dalam Pasal 15, Perda No. 6 Tahun 2017.(*)