Minyak Goreng
Harga CPO Internasional Fluktuatif, Minyak Goreng RI Justru Tetap Naik, KPPU: Ada Oligopoli
Harga CPO internasional cenderung fluktuatif. Namun, harga minyak goreng RI cenderung tetap naik. KPPU melaporkan adanya oligopoli di pasar.
Penulis: Suandi | Editor: Hasrul Rusdi
TRIBUN-SULBAR.COM - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melaporkan bahwa harga minyak goreng di Indonesia tak selaras dengan harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) internasional.
KPPU menyebutkan, harga CPO internasional fluktuatif bergantung dengan permintaan dan penawaran.
Akan tetapi, harga minyak goreng di Indonesia justru mengalami trend kenaikan dalam jangka waktu yang panjang tanpa adanya penurunan.
Beberapa waktu yang lalu, harga CPO sempat memgalami penurunan harga, tetapi harga minyak goreng di Tanah Air teta dalam trend naik.
Deputi Kajian dan Advokasi KPPU RI Taufik menjelaskan, trend kenaikan harga minyak goreng di Indonesia itu terjadi karena adanya oligopoli yakni hanya segelintir perusahaan yang menguasai pasar sehingga harga ditentukan oleh produsen yang dominan tersebut.

Baca juga: Februari 2022 Deflasi Mamuju 0,12 Persen, Cabai, Telur, hingga Minyak Goreng Penyumbang Terbesar
Baca juga: Antri Minyak Goreng, Emak-emak Mamuju: Pemerintah Harus Tegas Tindak Penimbun
"Berdasarkan data yang kita miliki memang struktur pasarnya terkonsentrasi, istilahnya oligopoli. Jadi ini menjadi concern bagi KPPU sendiri dan ini akan berdampak pada pembentukan harga di pasar," kata Taufik, dikutip tim Tribun-Sulbar.com dari Kompas.com.
Adanya kekakuan harga minyak goreng terhadap harga CPO yang fluktuatif adalah satu ciri bentuk dari oligopoli.
Taufik juga mengatakan, terjadinya pengambil alihan aset perusahaan kelapa sawit yang dilakukan oleh perusahaan besar terhadap perusahaan sawit kecil.
Praktik pengambil alihan aset tersebut makin memperkuat pasar oligopoli pada pasar kelapa sawit dan minyak goreng di Indonesia.
Selain itu, Taufik juga menjelaskan bahwa nilai ekspor CPO tidak mengalami peningkatan yang signifikan dalam satu tahun terakhir yakni hanya naik 0,6 persen.
Pihaknya juga mencatatkan total 18,42 juta ton CPO yang dikonversi menjadi minyak goreng menjadi 5,7 juta kiloliter untuk kebutuhan dalam negeri, penggunaan paling banyak adalah untuk minyak goreng curah sebesar 2,4 juta kiloliter.
Dan untuk industri, minyak goreng digunakan sebesar 1,8 juta kiloliter, penggunaan minyak goreng premium atau yang ada di pasar modern 1,2 juta kiloliter, dan kemasan sederhana sebesar 231.000 kiloliter.
Tanggapan Pemerintah
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) menjelaskan, kurangnya pasokan minyak goreng di Tanah Air terjadi di lapangan atau di level pendistribusian produk ke pasar ritel.
Pihak Kemendag menyampaikan produsen CPO telah memenuhi kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dengan memasok sebanyak 351 juta liter untuk kebutuhan minyak goreng dalam negeri.
Pasokan CPO yang telah dipenuhi oleh produsen untuk memenuhi kebutuhan sal negeri seharusnya membuat pasar dalam negeri kebanjiran produk minyak goreng dalam jangka waktu sebulan.
Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya yaitu ketersediaan produk minyak goreng masih langka di pasaran baik pasar modern maupun pasar tradisional.
Oleh sebab itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi bersama dengan jajarannya melakukan sidak ke lapangan guna mengurai permasalahan yang menyebabkan pasokan minyak goreng tersendat di pasaran.
Dari hasil sidak tersebut pemerintah mengakui jika ada beberapa oknum nakal yang sengaja menimbun minyak goreng dan tidak mendistribusikannya ke pasaran.
"Oleh karena itu kami beserta jajaran juga sedang mencari di mana letak simpulnya ini apakah ada yang menimbun. Dan memang ada beberapa hal seperti temuan Satgas Pangan di Sumatera Utara, termasuk di Kalimantan, dan sebagainya. Ini yang teman-teman beserta tim Satgas pangan kabupaten kota dan provinsi sedang melakukan langkah-langkah evaluasi tersebut," ucap Sekretaris Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag I G Ketut Astawa.
(Tribun-Sulbar.com/Al Fandy Kurniawan)