Gempa Sulbar

Amry Dasar Dosen Teknik Sipil Unsulbar: Bangunan Runtuh Bukan Semata-mata Disebabkan Gempa

Dosen Teknik Sipil Unsulbar Dr Eng Amry Dasar menyebut bangunan tahan gempa bukan berarti tidak akan rusak sekalipun gempa besar.

Penulis: Nasiha | Editor: Munawwarah Ahmad
Dr Eng Amry Dasar
Dosen Teknik Sipil Unsulbar Dr Eng Amry Dasar 

TRIBUN-SULBAR.COM, MAJENE - Gempa bumi 6.2 SR melanda Kabupaten Majene dan Mamuju Sulawesi Barat (Sulbar) menyisakan banyak kerusakan.

Gempa Sulbar 15 januari 2021 lalu ini merusak banyak rumah warga dan gedung-gedung layanan publik. 

Konstruksi bangunan kemudian jadi perbincangan setelah gempa.

Bangunan tahan gempa mulai digadang-gadang.

Dosen Teknik Sipil Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) Dr Eng Amry Dasar mengatakan, bangunan tahan gempa bukan berarti tidak akan rusak sekalipun gempa besar.

Melainkan bangunan tidak langsung rubuh saat genmpa

"Artinya memberikan kesempatan orang untuk menyelamatkan diri. Keandalan bangunan sangat bergantung pada mutu pada saat konstruksi dan besar MMI gempa itu sendiri," jelas Dr. Amry kepada Tribun-Sulbar.com, melalui telepone, Minggu (25/7/2021) malam.

Alumni Doktor Civil and Structural Engineering-Kyushu University, Jepang, 2017 ini menjelaskan, kriteria bangunan tahan gempa sudah tertuang jelas dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia.

Ada dua permasalahan.

SNI bangunan tahan gempa tidak tersosialisasikan dengan benar.
 
Kadang disosialisasikan dengan benar.

Tapi tidak dilakukan oleh pelaku konstruksi.

"Makanya sewaktu gempa di Sulbar, saya mungkin baru tiga hari masa tanggap, langsung turun bersama mahasiswa. Dan benar bahwa bangunan yang runtuh itu bukan semata-mata disebabkan gempa," jelasnya.

Ada beberapa penyebab gagalnya sebuah bangunan seperti:

Pertama, kesalahan detail penulangan seperti panjang penyaluran tulangan, jarak antara tulangan sengkang dan pembengkokan tulangan.

"Sebenarnya bangunan kita itu kuat cuma detil-detilnya tidak sesuai standar, makanya gagal. Jika detil penulangannya benar dan sesuai standar bangunan tidak akan langsung rubuh," jelasnya.

Jarak butuh tulangan geser misalnya yang harusnya 10cm terpasang 20 cm serta begipula pada saat diluruskan atau dibengkokkan ada sekian derajat.

"Human Error” baik sengaja atau tidak sengaja oleh pelaku konstruksi. Makanya, bukan sebenarnya bangunannya yang gagal tapi detilnya yang gagal," ungkapnya.

Kedua, tidak tercapainya prinsip desain kolom kuat-balok lemah.

Ketiga, mutu beton yang tidak tercapai.

Kualitas pasir yang digunakan tidak sesuai standar.

Pasir tidak boleh berlumpur.

Tapi sebaiknya bersih dan bebas dari lumpur.

Misalnya, bangunan tahan gempa mutu betonnya K300, karena pasirnya berlumpur, maka kuat tekan betonnya menjadi turun dan tidak tercapailah mutu rencana. Hal ini menurunkan standar mutu bangunan tahan gempa.

Keempat, tidak diterapkannya Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK) terlebih pada daerah rawan gempa.

Olehnya itu, Dr Amry mengaku, dalam waktu dekat InshaAllah akan mensosialisasikan bangunan tahan gempa di Desa Mekatta, Kecamatan Malunda pada Agustus 2021.

"Sebelum mereka membangun ulang rumah, saya akan undang beberapa tukang dan pelaku konstruksi untuk memperagakan bagaimana detil-detil tulangan yang benar," tukas alumnsi S2 Civil and Structural Engineering-Kyushu University, Jepang, 2013  ini.

Terakhir, ia menyampaikan, sinergitas antara pemerintah, pelaku konstruksi dan masyarakat memiliki peran penting untuk menyikapi bencana gempa.

Dari sudut pandang ke tekniksipilan, IMB, standar teknis bangunan dan rumah tinggal yang berada pada daerah rawan gempa perlu menjadi perhatian bersama.

Perlunya sosialisasi standar atau aturan terkait bangunan tahan gempa. (*)

 

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved